Jumat, 05 Juni 2009

Ijen Crater


Minggu tenang perkuliahan, memang tepat rasanya jika digunakan untuk refreshing. Kali ini saya dibuat bingung, karena berada di antara dua pilihan liburan yang jadwalnya bersamaan. Pilihan pertama adalah ikut kuliah lapangan MESDA (Manajemen Ekonomi Sumber Daya Air), yang rencananya akan mengunjungi kota Tulungagung dan Kediri. Melihat bangunan-bangunan sipil di bidang hidroteknik yang unik, tidak bisa ditemui di tempat lain. Sungguh menarik bukan? Apalagi bagi calon civil engineer seperti saya, akan sangat bermanfaat. Ditambah lagi tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun, karena semua sudah ditanggung oleh jurusan. Sepertinya tidak ada alasan untuk menolak tawaran yang satu ini.

Sedangkan pilihan kedua adalah jalan-jalan ke kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Tidak kalah menariknya dengan yang pertama. Menikmati mahakarya-Nya yang sungguh indah. Obyek wisata yang menjadi tujuan turis-turis asing sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali atau Lombok. Namanya sudah terkenal di luar sana. Bahkan pernah dipublikasikan dan terkenal di Perancis melalui Tayangan Ushuwaia Adventure yang memperlihatkan Nicolai Hulot sang-penjelajah, duduk diatas perahu karet bercerita tentang asal-usul Kawah Ijen. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada Kawah Ijen, dan sampai sekarang saya tidak merasa menyesal sedikit pun.

Minggu, 31 Mei 2009, pukul 6 pagi, menggunakan dua buah mobil, saya bersama kedua-belas teman berangkat menuju Kawah Ijen. Sumber informasi mengatakan untuk mencapai Kawah Ijen saat ini tidaklah terlalu sulit. Terdapat dua cara, pertama melalui kota Banyuwangi sejauh 38 km ke barat melalui Licin, Jambu, Paltuding (1,600 mdpl). Cara kedua adalah melalui kota Bondowoso ke timur melalui Wonosari, Sempol (800 mdpl), Paltuding sejauh 70 km. Cara kedua ini paling banyak ditempuh orang karena melalui jalan aspal mulus, sedangkan cara pertama melalui jalan makadam dengan tanjakan yang cukup curam. Karena kami start dari kota Jember, jadi kami melewati cara kedua, yaitu melalui kota Bondowoso.

Tapi ternyata jalanan tidak semulus yang dibayangkan seperti informasi di atas. Setelah melalui kota Bondowoso, jalanan berubah menjadi ‘ganas’. Melintas di tengan hutan, yang rasanya tidak berpenghuni, jalan aspal rusaklah yang kami dapati. Mungkin akibat truk-truk pengangkut kayu dari hutan. Seperti kita ketahui, perkerasan aspal didesain sesuai rencana beban yang akan melewatinya. Setelah itu barulah bisa ditentukan tebal perkerasan aspal dan jenis aspal yang akan digunakan. Untuk kasus ini, jelas sudah mengapa jalan menjadi rusak. Karena jalan ini tidak didesain untuk dilalui beban berat, sehingga perkerasan aspal menerima beban yang jauh di luar kemampuannya. Hmm.. masalah klasik perkerasan jalan di Indonesia yang tidak kunjung terselesaikan. Sangat disayangkan jalan ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah, padahal merupakan akses pariwisata yang potensial. Terpaksa kami harus berjalan dengan kecepatan rendah, karena mobil yang kami gunakan adalah mobil jenis ‘Kijang’. Kesabaran kami diuji di sini, untung saja pemandangan yang disuguhkan begitu indah, jadi bisa mengurangi kejenuhan ini. Saran saya untuk anda, jika ingin menuju Ijen, gunakanlah mobil touring, sejenis jeep, sehingga bisa ‘melibas’ jalanan ini, tidak perlu buang-buang waktu.

Harus sabar

‘Habis gelap terbitlah terang’, cocok untuk menggambarkan keadaan ini. ‘Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian’, rasanya juga cocok. Ya, setelah melewati jalan yang membuat trauma (kata driver), akhirnya kami sampai di suatu tempat bernama Jampit, Kalisat. Daerah terbatas areal Perkebunan Kopi PTP Nusantara XII, dengan tiga pintu gerbang yang berbeda. Di setiap pintu gerbang kami diminta untuk mengisi buku tamu dan tujuan perjalanan. Pemandangan di rute ini sangat bagus, dengan kebun kopi arabikanya yang hijau teratur, hutan pinus Perhutani dan hutan perawan Cagar Alam Ijen-Merapi yang lebat. Jangan heran jika melewati daerah ini jalan begitu sepi, jarang sekali berpapasan dengan kendaraan lainnya, memang serasa jalan pribadi. Tapi harus tetap waspada, karena jalannya sempit, jadi jika berpapasan salah satu mobil harus mengalah. Kunjungan singkat satu hari dapat dilakukan, namun bermalam di perkebunan kopi adalah pilihan yang tepat. Tersedia paket agro-wisata mengunjungi kebun kopi dan unit pemrosesan biji kopi yang patut dipertimbangkan. Juga terdapat air terjun serta pemandian air panas. Tersedia juga guest house di dalam kompleks perumahan perkebunan pada ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Tarif penginapan bervariasi. Di Arabica homestay harga mulai 115 ribu. Sayang waktu kami terbatas, jadi tidak bisa mampir.

Gerbang I, Areal Perkebunan Kopi PTP Nusantara XII Jampit, Kalisat

Pemandangan di rute Jampit, Kalisat

Tidak lama kemudian setelah melewati pos ketiga atau pos terakhir areal Perkebunan Kopi PTPN XII, sampailah kami di daerah Paltuding (1.600 mdpl). Ini adalah tempat penitipan kendaraan, dan tempat memulai pendakian. Tarif masuk sangat murah yaitu Rp 1.500,00 saja. Pendakian ke kawah Ijen umumnya disarankan dimulai pada pagi hari, karena mengantisipasi pekatnya asap dan kemungkinan arah angin yang mengarah ke jalur pendakian pada siang hari. Untuk mengejar perjalanan di pagi hari, pengunjung disarankan menginap di lokasi terdekat. Tersedia Pondok Wisata di Paltuding yang cukup bersih, bisa juga membuka tenda di bumi perkemahan Paltuding. Tarif penginapan di pos paltuding tersedia mulai harga 75 ribu. Tapi pada saat itu kami mulai mendaki pada pukul 10.00, sudah tergolong siang, dan turis-turis pun terlihat sudah turun dari puncak.

Gerbang masuk

Untuk mencapai kawah Ijen, dari pos Paltuding ditempuh dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 3 km. Sebenarnya bukan jarak yang terlalu jauh. Tetapi berjalah sejauh 3 km di ketinggian di atas 1.600 mdpl, dan dengan kemiringan hampir 30o, bukan pekerjaan yang ringan. Saran saya, jangan membawa orang tua berwisata ke sini, kecuali fisiknya masih oke. Karena tidak lucu ketika nanti di tengah perjalanan, mereka kecapekan dan minta diantarkan pulang ke pos, hmmm.. Sepanjang perjalanan anda akan banyak berpapasan dengan pemikul belerang yang ramah bertukar salam, tapi ingat anda harus memberi jalan pada mereka, karena mereka sedang membawa beban yang berat.

Tim siap berangkat!

Patok informasi (1 hm = 0,1 km)

Setelah berjalan kurang lebih 2 km, anda akan sampai pada tempat bernama Pos Bundar. Sebuah pos dimana para penambang belerang menimbang muatannya dan mendapatkan secarik kertas tentang muatan dan nilainya.

Medan yang harus dilalui untuk sampai puncak

Patok Pos Bundar

Setelah 2 jam kami melakukan pendakian, dengan jalan santai dan banyak beristirahat di tengah-tengah perjalanan, akhirnya sampai juga di puncak dengan ketinggian 2.400 mdpl dan temparature rata-rata di sekitar kawah adalah 13oC di siang hari dan 2oC di malam hari. Tiba di bibir kawah, pemandangan menakjubkan berada di depan mata. Sebuah danau hijau tosca dengan diameter 1 km berselimutkan kabut dan asap belerang berada jauh dibawah. Mungkin inilah alasan mengapa dinamakan Ijen (berasal dari kata ‘ijo’= hijau dalam bahasa Jawa). Danau tersebut sepertinya berada di dalam kawah dengan dinding kaldera setinggi 300-500 m. Sebuah puncak gunung menjulang berada disampingnya. Asap putih yang mengepul dari salah satu kawahnya membumbung tinggi ke udara, menjadikannya kontras dengan lingkungan sekitarnya yang berwarna hijau jade. Penambang-penambang belerang terlihat kecil dari atas. Untuk menuju ke sumber penghasil belerang tersebut, kita perlu menuruni bebatuan tebing kaldera melalui jalan setapak yang dilalui penambang. Masker, slayer, atau sapu tangan basah sangat diperlukan, karena seringkali arah angin bertiup membawa asap menuju ke jalur penurunan.

Wow!

Keunikan yang utama dari wisata Kawah Ijen selain panoramanya yang sangat indah adalah melihat penambangan belerang tradisional yang diangkut dengan cara dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia saja (Welirang dan Ijen). Beban yang diangkut masing-masing per orangnya sampai seberat 85 kg. Beban ini luar biasa berat buat kebanyakan orang, manakala belerang diangkut melalui dinding kaldera yang curam sejauh 800 m, kemudian menuruni gunung sejauh 3 km. Upah yang diterima pemikul adalah Rp 600 untuk setiap 1 kg. Seorang pemikul biasanya hanya mampu membawa turun satu kali setiap harinya, karena beratnya pekerjaan.

Pemikul belerang sedang melalui dinding kaldera

Kami memutuskan untuk turun ke kawah, tapi tidak semua anggota ikut. Di dasar kawah, sejajar dengan permukaan danau terdapat tempat pengambilan belerang. Asap putih pekat keluar menyembur dari dalam pipa besi yang dihubungkan ke sumber belerang. Lelehan 600oC fumarol berwarna merah membara meleleh keluar dan membeku karena udara dingin, membentuk padatan belerang berwarna kuning terang. Terkadang bara fumarol menyala tak terkendali, yang biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Batu-batuan belerang ini dipotong dengan linggis dan diangkut kedalam keranjang. Bernapas dalam lingkungan seperti ini dibutuhkan perjuangan tersendiri. Jika tidak terbiasa, seperti kami contohnya, akan mengalami sesak nafas dan sedikit pusing karena terlalu banyak menghirup asap belerang. Mata pun mengeluarkan air seperti sedang mengupas bawang merah. Baunya hampir mirip dengan gas Lumpur Lapindo, mungkin dikarenakan sama-sama mengandung unsur 'S' (sulphur). Para penambang umumnya bekerja sambil menggigit kain sarung atau potongan kain seadanya sebagai penapis udara, tapi sekarang sudah ada yang menggunakan masker.

Harus ekstra hati-hati

Pemandangan kawah dari bawah

Berikut foto-foto yang diunggah dari http://www.boston.com:
Photo oleh: Ulet Ifansasti (Getty Images)

Kawah Ijen di malam hari

Penambang belerang

Fumarol berwarna merah membara meleleh keluar

Otot-otot pemikul belerang

Belerang yang sudah membeku dan siap diangkut

Dari bawah kami bisa melihat kawah dengan jelas. Kawah ini memiliki kedalaman 200 meter, dan derajat keasaman nol. Keasamannya cukup kuat untuk melarutkan pakaian dan jari jemari, katanya. Tapi saya sempat mencuci tangan dengan air kawah, dan ternyata tidak terjadi apa-apa, cuma terasa sedikit perih setelahnya. Di sana kami juga bertemu dengan dua orang wisatawan dari Bandung, dan sempat sedikit mengobrol. Menurut mereka pemandangan di kawah Ijen lebih bagus daripada kawah Putih di Bandung. Pemandangannya masih alami, kata mereka. Sayang sekali saya tidak sempat melihat sunrise di sini, tapi lain kali saya akan kembali. Kamu juga harus coba berkunjung ke sini, jika butuh guide, saya siap mengantarkan.


NB:
Thanks to Allah SWT atas keindahan yang telah diciptakan dan kesempatan bagi kami untuk menikmatinya. Terima kasih juga buat 12 tim lainnya: Kiki, Githa, Decy, Putri, Andre, Dipta, Martha, Irsyad, Rian, Ari, Nurul, Fajar.

Terimakasih buat mas Ulet Ifansasti atas foto-foto penambang belerangnya yang luar biasa. Saya ambil dari koleksi Big Picture:
http://www.boston.com/bigpicture/2009/06/sulfur mining in kawahijen.html

Sebuah fakta menarik kalo Kawah Ijen adalah salah satu danau asam terbesar di dunia!
http://news.softpedia.com/news/The-Largest-Acid-Lake-on-Earth-81388.shtml