Sabtu, 21 November 2009

Madakaripura


Madakaripura tersusun atas tiga kata yaitu: Mada Kari Pura, yang artinya “Tempat Tinggal Terakhir”. Sebuah tempat yang dipilih oleh Maha Patih Gajah Mada sebagai tempat bertapa untuk memperoleh kesentosaan hingga ia menjadi sakti mandraguna. Gajah Mada adalah seorang Patih dari Kerajaan Majapahit yang namanya sangat besar karena telah berjuang dengan gigih mempersatukan wilayah Nusantara (bukan hanya dari Sabang sampai Merauke tapi dari Wanin hingga Madagaskar). Di tempat ini pula ia menghabiskan sisa hidupnya, mempersiapkan diri untuk menuju nirwana.

Semua orang pasti suka jalan-jalan. Jadi tidak susah bagi kami mengumpulkan personel untuk liburan kali ini. Yang menjadi masalah adalah menentukan tempat yang akan dituju. Karena setiap orang punya selera masing-masing dan untuk menyatukan itu semua bukan hal yang mudah. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata Madakaripura. Tempat ini dipilih karena menurut kami selain punya pemandangan alam yang bagus juga punya nilai historis yang tinggi.

Pada hari Sabtu, tanggal 14 Nopember 2009, pukul 01.30 WIB tim berangkat dari Surabaya, tepatnya dari Sacharosa 63. Tim yang diberi nama Tim 8 atau TPF (Tim Pencari Foto) berangkat dengan mengendarai Kijang Innova, yang merupakan mobil sewaan. Tim tidak langsung menuju Madakaripura, tetapi menuju Penanjakan terlebih dahulu untuk menikmati sunrise. Dikemudikan oleh brother Harys dan dinavigatori oleh brother Fajar (brother adalah sebutan wajib bagi sesama anggota Sacharosa), mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Harap maklum jika kami tergesa-gesa karena jam keberangkatan telah molor sekitar 1,5 jam dari yang direncanakan.

Jadi hak milik selama 24 jam

Menuju Penanjakan dari Surabaya, jalan yang terdekat adalah lewat Pasuruan, kemudian masuk ke Desa Puspo. Medannya cukup berat, jalan sempit, menanjak dan berkelok-kelok, tapi untungnya kondisi aspal masih bagus. Sekitar pukul 03.30 WIB tim sampai di gerbang masuk Penanjakan. Lapor ke pos terlebih dahulu serta membayar tarif masuk Rp. 2500,- per orang dan parkir Rp. 6000,-. Sebagai informasi, jika menuju Bromo melewati jalur ini mobil pribadi diperbolehkan masuk. Berbeda dengan jalur Probolinggo, kita diharuskan untuk menitipkan kendaraan pribadi dan melanjutkan perjalanan menggunakan jeep/hardtop dengan biaya sewa sekitar Rp. 300.000,- . Hmm.. sama dengan ongkos sewa mobil kami satu hari :-O

Tim 8 (dari kiri: me, nurul, arbay, fajar, anin, hanif, harys, ocik)

Dari gerbang masuk menuju Penanjakan ternyata masih harus menempuh kurang lebih 10 km lagi. Jam-jam segini ternyata banyak sekali jeep yang menuju Penanjakan, untungnya kami berada di depan mereka. Tapi nampaknya mobil kami melaju terlalu lambat. Maklum, namanya saja mobil keluarga dan driver belum mengenal medan dengan baik. Karena jalanan sempit dan tidak mungkin untuk menyalip, jadilah mobil kami bagaikan safety car di balapan F1. Bedanya safety car yang satu ini tidak dihormati sama sekali, karena selalu diklakson oleh jeep-jeep di belakanng. Hufh. Tapi brother Harys bisa beradaptasi cepat dengan jalanan, dan akhirnya kami berhasil meninggalkan jauh jeep-jeep itu di belakang. Salut!!! Diburu waktu memang tidak mengenakkan. Perasaan kami waktu itu mungkin hampir sama dengan perasaan Sangkuriang, yaitu berharap agar matahari tidak terbit terlebih dahulu.

Sudah diserbu turis

Sekitar pukul 04.00 WIB akhirnya tim sampai di puncak Penanjakan, untung saja sang fajar belum datang. Tapi mengapa tempat ini begitu ramai, jangankan untuk mendapatkan sudut bagus mengambil gambar, untuk meletakkan tripod saja seperti tidak ada tempat. Wisatawan asing dan lokal yang jumlahnya hampir sama, tampak antusias sekali menunggu matahari terbit di sini. Jadilah sunrise tersebut hanya kami abadikan dalam hati dan pikiran masing-masing. Tapi brother Hanif, yang juga merupakan fotografer majalah ITS online, berhasil menemukan tempat bagus untuk foto-foto. Walaupun harus menuruni bukit yang agak curam, tapi tempat ini jauh dari jamahan wisatawan lainnya dan pemandangannya benar-benar mantabz. Photo sesssion pun dimulai. Syiip bro!!!

Brother Hanif Santoso

Nemu tempat sepi di bawah tower-tower

Foto-foto dulu

Cara liatnya kepalanya agak dimiringkan sedikit

Setelah puas menikmati pemandangan di Penanjakan, perjalanan menuju Madakaripura dilanjutkan. Jalan yang harus dilalui adalah berupa turunan tebing dari puncak Penanjakan. Jalan begitu curam dan rem pun harus bekerja keras di sini. Sampai-sampai bau hangus rem tercium dari dalam mobil. Tapi pemandangan yang disuguhkan sungguh luar biasa dan benar-benar menakjubkan. Semua terlihat kecil sekali dari atas sini. Sungguh Allah Maha Besar.

Gajah di pelupuk mata tak tampak, apalagi semut di seberang lautan

Selesai melewati turunan tajam, rintangan selanjutnya berupa lautan pasir. Tidak kalah berbahaya dengan medan sebelumnya, untung saja mobil kami tidak sampai terjebak di lautan pasir ini. Pemandangannya pun tidak kalah maknyus di sini. Setelah tadi melihat pemandangan dari ketinggian, sekarang kami disuguhi view dari bawah. Melihat dinding kaldera yang menjulang tinggi mengelilingi Gunung Bromo, sungguh megah rasanya. Obyek wisata Gunung Bromo pun akhirnya kami lewati. Sayang tidak sempat mampir, bukannya sombong, tapi karena tujuan utama tim adalah Madakaripura. Sampai jumpa Bromo lain waktu kami pasti mampir.

Empuk-empuk gimana gitu

Kulonuwon Bromo

Sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya tim sampai juga di Madakaripura. Obyek wisata ini terletak di Desa Sapeh, Kecamatan Lumbang, sekitar 6 km dari lautan pasir Bromo. Di gerbang masuk terdapat patung seorang laki-laki bertubuh gempal dan rambut yang digelung membulat. Ya benar, itu adalah patung Gajah Mada. Memang terasa sekali kalau Gajah Mada merupakan ikon obyek wisata ini. Tarif masuk ke lokasi ini adalah Rp 2.500,- per orang.

Model rambutnya Angga 'Maliq & d'essentials'

Setelah memarkir mobil, kami didatangi oleh penduduk setempat yang menawarkan jasa sebagai guide untuk membantu meniti jalan menuju air terjun. Karena ini pertama kalinya kami ke sini, jadi kami mengiyakan saja penawaran tersebut. Awalnya bapak itu menawarkan harga Rp 50.000,- tetapi setelah tawar-menawar, harga akhirnya adalah Rp 30.000,-. Sebenarnya itu masih tergolong mahal, karena menurut pengalaman teman kami, warga sekitar sudah bersedia dengan dibayar Rp 10.000,- saja. Untuk menuju ke air terjun kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km. Sesungguhnya di obyek wisata ini sudah disediakan jalan setapak atau pedestrian untuk pengunjung. Karena pernah terjadi longsor maka beberapa titik di pedestrian terputus, jadi kami harus bersusah payah menyebrang sungai dan melewati batu-batu. Tetapi sungguh itu semua malah menambah nikmatnya perjalanan ini. Walaupun di sungai juga banyak terdapat lintah, jadi harus tetap waspada!

Jalan setapak

Korban lintah of the day adalah Fajar.. wkwkwk..

Setelah kurang lebih 15 menit berjalan, akhirnya tim sudah mendekati lokasi air terjun. Tidak terasa capek sama sekali, karena pemandangan selama perjalanan telah menghapusnya. Tebing-tebing tinggi di kanan dan kiri bagaikan ingin menjepit kami saja. Terdapat warung kecil, pos penjaga, dan toilet di sana. Guide pun mengingatkan untuk menyimpan barang-barang kami, karena deretan air terjun nanti bisa membuat kami basah kuyup. Di sana pun sudah ada yang berjualan tas kresek dan juga menyewakan payung seharga Rp. 2000,-. Setelah semuanya siap perjalanan pun dilanjutkan.

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh guide kami, untuk menuju air terjun utama kami harus lewat di bawah deretan air terjun kecil. Jumhlanya ada lima buah, disinilah letak keseruannya, seperti main hujan-hujanan, karena limpahan air tidak bisa dihindari sehingga membuat kami menjadi basah kuyup. Tapi ingat harus tetap waspada karena jalan yang dilalui cukup licin, tidak jarang di antara kami yang jatuh terpeleset saat menginjak batu. Pemandangan di titik ini pun sangat cantik, tidak heran jika sebuah produk air mineral memasangnya pada iklan mereka (Aqua, red).

Diunduh dari: www.wikimedia.org

Mendekati air terjun utama, lorong semakin menyempit, jalanan berupa batu-batu terjal dan semakin sulit untuk dilewati. Akhirnya tim sampai pada sebuah jalan buntu berupa cerung sempit dengan diameter sekitar 25 m. Di sana terdapat sebuah air terjun yang sangat besar, dengan ketinggian sekitar 200 m. Air dengan kekuatan besar melimpah dari atas, jatuh ke kolam yang dalamnya sekitar 7 m. Suara gemuruh air pun terdengar keras sekali. Agak mengerikan memang karena kami serasa terkurung di dalam ruangan alam ini, seolah-olah berada di dasar sebuah tabung batuan yang tinggi. Di tengah-tengah air terjun ini terdapat sebuah goa yang menganga, konon di sanalah Gajah Mada menghabiskan sisa usianya untuk bertapa.

Diunduh dari: www.tempatwisataindonesia.com

Keperkasaan yang dahsyat di Madakaripura inilah yang menjadi alasan Gajah Mada memilihnya sebagai tempat untuk menghabiskan sisa usia. Betapapun panjang sebuah perjalanan, pasti akan sampai juga pada titik akhir. Betapapun sempurna keindahan mentari pagi di ufuk timur, betapapun garang ia membakar bumi tepat di siang hari, ketika senja membayang, ia harus tenggelam juga. Lakon Gajah Mada telah pula sampai di ujungnya. Tragedi Bubat telah melukai begitu banyak pihak dan berdampak sangat luas. Gajah Mada ditempatkan sebagai pihak paling bersalah atas tragedi itu. Ia dihujat, dicaci, dan dicela. Namun, sesungguhnya sang legendaris ini juga merasa terluka. Ia terluka karena merasa kerja kerasnya selama dua puluhan tahun lebih pada akhirnya tak ada harganya sama sekali. Segala pengorbanan yang ia berikan untuk dapat menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji Majapahit justru gagal di langkah terakhir. Mungkin air terjun inilah yang menjadi saksi bisu kesedihan hati Sang Maha Patih.

Sungguh tempat yang sangat sakral, tidak heran mendengar cerita guide kami jika Madakaripura juga sering dijadikan tempat semedi orang-orang yang ingin mencari ilmu batin. Tepat di samping air terjun besar itu, juga terdapat sebuah air terjun kecil yang bernama “Tirta Serwana”. Banyak orang yang mempercayai jika air dari “Tirta Serwana” ini berkhasiat memberikan kesembuhan dan membuat awet muda. Saya pun langsung mencoba menikmati guyuran air di sana, seperti pijat refleksi, enak sekali rasanya. Khasiatnya ternyata juga langsung terasa, yaitu gatel-gatel.. hehehe..

Ini bukan Gajah Mada yang lagi mandi :)

Sayang sekali derasnya cipratan air dari air terjun membuat kami mengurungkan niat untuk mengambil foto. Hanya kamera pocket yang digunakan untuk sekedar foto bersama. Jadi saya sertakan saja gambar-gambar yang didapat dari hasil browsing.

Diunduh dari: www.tempatwisataindonesia.com

Kami akan kembali

NB:
Thanks to Allah SWT atas keindahan yang telah diciptakan dan kesempatan bagi kami untuk menikmatinya. Terima kasih juga buat tim 8 atas waktunya, serta tidak lupa buat Brother Harys sebagai driver, benar-benar darah muda.

Senin, 17 Agustus 2009

JFC 8


Hooaaammm.. Akhirnya bangun juga dari tidur panjang.. Sudah lama tidak posting di blog, bukan karena gak ada ide atau kehabisan bahan cerita, tapi karena waktu saya yang tersita oleh urusan per-Tugas Akhir-an. Alhamdulillah.. Sekarang semuanya sudah beres, lega sekali rasanya dan nama saya pun menjadi bertambah panjang, yaitu Rizki Setiadi, ST. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.

Biasanya setelah menyelesaikan suatu pekerjaan yang sangat berat, hal yang paling enak dilakukan adalah klik kanan-refresh (atau tekan F5), menyegarkan kembali jiwa dan raga kita dari rutinitas yang melelahkan. Jangan pernah menyepelekan refreshing, karena itu adalah salah satu kebutuhan. Anda bisa gila jika tidak melakukannya, jadi luangkanlah saja barang sedikit waktu. Refreshing kali ini saya isi dengan mengunjungi tempat yang sungguh indah, sampai-sampai saya memutuskan untuk tidak ikut pergi berlibur bersama teman-teman ke Pulau Bali. Tempat itu tiada lain adalah my beloved city, Jember, hahaha.. home sweet home, memang tidak ada tempat yang seindah rumah sendiri.

Saya tahu anda kecewa mendengarnya, mungkin dalam benak anda berpikir "Apa bagusnya sih Jember, tidak mungkin ada cerita menarik dari sana". Yah.. namanya juga terpaksa, karena masalah finansial. Selain menyita kapasitas otak ternyata Tugas Akhir juga menyita pundi-pundi keuangan saya, sehingga saya tidak bisa berlibur ke tempat yang jauh. Tapi tenang dulu.. kalo tidak ada cerita menarik, tidak mungkin saya posting ke blog ini.

Pernah dengar tentang BBJ (Bulan Berkunjung ke Jember). Ya, itu adalah program pemerintah Kabupaten Jember untuk menarik wisatawan datang ke Jember. Bulan Juni-Agustus adalah waktu dimana saya menganjurkan kepada anda untuk mengunjungi kota ini. Serangkaian acara menarik telah disiapkan oleh pemerintah daerah dalam kurun waktu tersebut, sayang sekali jika dilewatkan. Jadi selain berkunjung ke wisata alamnya, anda juga bisa menikmati acara-acara yang disajikan. Salah satu acara yang akan saya ceritakan berikut ini bernama JFC (Jember Fashion Carnaval).

Minggu, 2 Agustus 2009, ruas jalan mulai dari Alun-Alun sampai dengan GOR Kaliwates dijejali oleh ratusan ribu orang. Padahal ruas jalan ini merupakan jalan utama di Kota Jember, sehingga lalu lintas di kota ini menjadi benar-benar lumpuh hari itu. Jalanan memang sengaja ditutup dikarenakan ada event JFC. JFC adalah fashion carnaval on the street, yang merupakan fashion dance dan fashion runway terpanjang di dunia dan telah tercatat di MURI sebagai peragaan busana dengan catwalk terpanjang 3,6 km, lebih panjang dari Festival Rio De Janeiro di Brazil, yang hanya 1,1 km. Selain itu jika di Rio Carnival anda dapat melihat ratusan orang berkostum menarik dan sama, maka uniknya di JFC ini anda akan melihat ratusan orang berkostum menarik, tetapi tidak ada satupun yang sama.


Sesuai dengan visi yang diusung yaitu menjadikan Jember sebagai kota wisata mode pertama di Indonesia bahkan di dunia, JFC yang sudah memasuki tahun penyelenggaraan ke 8, kini menjadi salah satu agenda penting fashion internasional. Tidak heran jika banyak wisatawan atau jurnalis asing yang sengaja datang ke Jember untuk menyaksikan event ini. Acara JFC ini selalu mendapat liputan dari media lokal maupun internasional.(Kompas, Tempo, Media Indonesia, Antara, Reuters, AFP, National Geographic, dll).



Tahun ini JFC mengangkat tema utama “World Unity”, yang berarti satukan dan damaikan dunia. Tema ini merupakan pesan dalam mengantisipasi segala hal yang berkembang di dunia baik dari masalah sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Sekaligus mengingatkan kita akan dampak isu global warming, krisis pangan dan lain-lain.




Sebanyak 550 peserta berkarnaval, berfashion runway dan dance, di jalan utama kota Jember disaksikan oleh ratusan ribu penonton di kanan dan kiri jalan. Mereka terbagi dalam 8 defile yang masing-masing defile mencerminkan trend fashion pada tahun yang bersangkutan. Defile pertama adalah defile Archipelago yang mengangkat tema busana nasional dari daerah tertentu secara berkala seperti Jawa, Bali, Sumatera, dan seterusnya. Defile lainnya mengangkat tema fashion yang sedang trend apakah dari suatu negara, kelompok tertentu, film, kejadian atau peristiwa global lainnya. Ketujuh defile tersebut antara lain Barricade, Off Earth, Gate-11, Roots, Methamorphic, Undersea, dan Robotic. Semua busana dibuat dalam bentuk kostum yang kesemuanya dikompetisikan untuk meraih penghargaan-penghargaan. Total ada 75 piala JFC yang diperebutkan.



Peserta merancang, membuat, dan memperagakan sendiri kostum mereka termasuk juga make up dan hair style yang ditampilkan. Untuk itu sebelumnya seluruh peserta yang berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan dan status sosial mendapatkan in house training fashion design, fashion runway, dance, presenter, make up dan hair style yang diberikan secara cuma-cuma. Tujuannya adalah menggali potensi diri peserta dengan memberikan kesempatan untuk pengembangan kreativitas sehingga akan terlahir ide-ide baru baik dibidang seni tari / dance, merancang busana, aksesories dll. Hal ini sesuai dengan misi JFC yaitu suatu proses atau perjalanan yang membawa banyak manfaat bagi pengembangan dunia pendidikan kita (SDM), kesenian, budaya dan perkembangan perekonomian. So, see you in the next World Fashion Carnival.

Jumat, 05 Juni 2009

Ijen Crater


Minggu tenang perkuliahan, memang tepat rasanya jika digunakan untuk refreshing. Kali ini saya dibuat bingung, karena berada di antara dua pilihan liburan yang jadwalnya bersamaan. Pilihan pertama adalah ikut kuliah lapangan MESDA (Manajemen Ekonomi Sumber Daya Air), yang rencananya akan mengunjungi kota Tulungagung dan Kediri. Melihat bangunan-bangunan sipil di bidang hidroteknik yang unik, tidak bisa ditemui di tempat lain. Sungguh menarik bukan? Apalagi bagi calon civil engineer seperti saya, akan sangat bermanfaat. Ditambah lagi tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun, karena semua sudah ditanggung oleh jurusan. Sepertinya tidak ada alasan untuk menolak tawaran yang satu ini.

Sedangkan pilihan kedua adalah jalan-jalan ke kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Tidak kalah menariknya dengan yang pertama. Menikmati mahakarya-Nya yang sungguh indah. Obyek wisata yang menjadi tujuan turis-turis asing sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali atau Lombok. Namanya sudah terkenal di luar sana. Bahkan pernah dipublikasikan dan terkenal di Perancis melalui Tayangan Ushuwaia Adventure yang memperlihatkan Nicolai Hulot sang-penjelajah, duduk diatas perahu karet bercerita tentang asal-usul Kawah Ijen. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada Kawah Ijen, dan sampai sekarang saya tidak merasa menyesal sedikit pun.

Minggu, 31 Mei 2009, pukul 6 pagi, menggunakan dua buah mobil, saya bersama kedua-belas teman berangkat menuju Kawah Ijen. Sumber informasi mengatakan untuk mencapai Kawah Ijen saat ini tidaklah terlalu sulit. Terdapat dua cara, pertama melalui kota Banyuwangi sejauh 38 km ke barat melalui Licin, Jambu, Paltuding (1,600 mdpl). Cara kedua adalah melalui kota Bondowoso ke timur melalui Wonosari, Sempol (800 mdpl), Paltuding sejauh 70 km. Cara kedua ini paling banyak ditempuh orang karena melalui jalan aspal mulus, sedangkan cara pertama melalui jalan makadam dengan tanjakan yang cukup curam. Karena kami start dari kota Jember, jadi kami melewati cara kedua, yaitu melalui kota Bondowoso.

Tapi ternyata jalanan tidak semulus yang dibayangkan seperti informasi di atas. Setelah melalui kota Bondowoso, jalanan berubah menjadi ‘ganas’. Melintas di tengan hutan, yang rasanya tidak berpenghuni, jalan aspal rusaklah yang kami dapati. Mungkin akibat truk-truk pengangkut kayu dari hutan. Seperti kita ketahui, perkerasan aspal didesain sesuai rencana beban yang akan melewatinya. Setelah itu barulah bisa ditentukan tebal perkerasan aspal dan jenis aspal yang akan digunakan. Untuk kasus ini, jelas sudah mengapa jalan menjadi rusak. Karena jalan ini tidak didesain untuk dilalui beban berat, sehingga perkerasan aspal menerima beban yang jauh di luar kemampuannya. Hmm.. masalah klasik perkerasan jalan di Indonesia yang tidak kunjung terselesaikan. Sangat disayangkan jalan ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah, padahal merupakan akses pariwisata yang potensial. Terpaksa kami harus berjalan dengan kecepatan rendah, karena mobil yang kami gunakan adalah mobil jenis ‘Kijang’. Kesabaran kami diuji di sini, untung saja pemandangan yang disuguhkan begitu indah, jadi bisa mengurangi kejenuhan ini. Saran saya untuk anda, jika ingin menuju Ijen, gunakanlah mobil touring, sejenis jeep, sehingga bisa ‘melibas’ jalanan ini, tidak perlu buang-buang waktu.

Harus sabar

‘Habis gelap terbitlah terang’, cocok untuk menggambarkan keadaan ini. ‘Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian’, rasanya juga cocok. Ya, setelah melewati jalan yang membuat trauma (kata driver), akhirnya kami sampai di suatu tempat bernama Jampit, Kalisat. Daerah terbatas areal Perkebunan Kopi PTP Nusantara XII, dengan tiga pintu gerbang yang berbeda. Di setiap pintu gerbang kami diminta untuk mengisi buku tamu dan tujuan perjalanan. Pemandangan di rute ini sangat bagus, dengan kebun kopi arabikanya yang hijau teratur, hutan pinus Perhutani dan hutan perawan Cagar Alam Ijen-Merapi yang lebat. Jangan heran jika melewati daerah ini jalan begitu sepi, jarang sekali berpapasan dengan kendaraan lainnya, memang serasa jalan pribadi. Tapi harus tetap waspada, karena jalannya sempit, jadi jika berpapasan salah satu mobil harus mengalah. Kunjungan singkat satu hari dapat dilakukan, namun bermalam di perkebunan kopi adalah pilihan yang tepat. Tersedia paket agro-wisata mengunjungi kebun kopi dan unit pemrosesan biji kopi yang patut dipertimbangkan. Juga terdapat air terjun serta pemandian air panas. Tersedia juga guest house di dalam kompleks perumahan perkebunan pada ketinggian sekitar 1.200 mdpl. Tarif penginapan bervariasi. Di Arabica homestay harga mulai 115 ribu. Sayang waktu kami terbatas, jadi tidak bisa mampir.

Gerbang I, Areal Perkebunan Kopi PTP Nusantara XII Jampit, Kalisat

Pemandangan di rute Jampit, Kalisat

Tidak lama kemudian setelah melewati pos ketiga atau pos terakhir areal Perkebunan Kopi PTPN XII, sampailah kami di daerah Paltuding (1.600 mdpl). Ini adalah tempat penitipan kendaraan, dan tempat memulai pendakian. Tarif masuk sangat murah yaitu Rp 1.500,00 saja. Pendakian ke kawah Ijen umumnya disarankan dimulai pada pagi hari, karena mengantisipasi pekatnya asap dan kemungkinan arah angin yang mengarah ke jalur pendakian pada siang hari. Untuk mengejar perjalanan di pagi hari, pengunjung disarankan menginap di lokasi terdekat. Tersedia Pondok Wisata di Paltuding yang cukup bersih, bisa juga membuka tenda di bumi perkemahan Paltuding. Tarif penginapan di pos paltuding tersedia mulai harga 75 ribu. Tapi pada saat itu kami mulai mendaki pada pukul 10.00, sudah tergolong siang, dan turis-turis pun terlihat sudah turun dari puncak.

Gerbang masuk

Untuk mencapai kawah Ijen, dari pos Paltuding ditempuh dengan jalan kaki sejauh kurang lebih 3 km. Sebenarnya bukan jarak yang terlalu jauh. Tetapi berjalah sejauh 3 km di ketinggian di atas 1.600 mdpl, dan dengan kemiringan hampir 30o, bukan pekerjaan yang ringan. Saran saya, jangan membawa orang tua berwisata ke sini, kecuali fisiknya masih oke. Karena tidak lucu ketika nanti di tengah perjalanan, mereka kecapekan dan minta diantarkan pulang ke pos, hmmm.. Sepanjang perjalanan anda akan banyak berpapasan dengan pemikul belerang yang ramah bertukar salam, tapi ingat anda harus memberi jalan pada mereka, karena mereka sedang membawa beban yang berat.

Tim siap berangkat!

Patok informasi (1 hm = 0,1 km)

Setelah berjalan kurang lebih 2 km, anda akan sampai pada tempat bernama Pos Bundar. Sebuah pos dimana para penambang belerang menimbang muatannya dan mendapatkan secarik kertas tentang muatan dan nilainya.

Medan yang harus dilalui untuk sampai puncak

Patok Pos Bundar

Setelah 2 jam kami melakukan pendakian, dengan jalan santai dan banyak beristirahat di tengah-tengah perjalanan, akhirnya sampai juga di puncak dengan ketinggian 2.400 mdpl dan temparature rata-rata di sekitar kawah adalah 13oC di siang hari dan 2oC di malam hari. Tiba di bibir kawah, pemandangan menakjubkan berada di depan mata. Sebuah danau hijau tosca dengan diameter 1 km berselimutkan kabut dan asap belerang berada jauh dibawah. Mungkin inilah alasan mengapa dinamakan Ijen (berasal dari kata ‘ijo’= hijau dalam bahasa Jawa). Danau tersebut sepertinya berada di dalam kawah dengan dinding kaldera setinggi 300-500 m. Sebuah puncak gunung menjulang berada disampingnya. Asap putih yang mengepul dari salah satu kawahnya membumbung tinggi ke udara, menjadikannya kontras dengan lingkungan sekitarnya yang berwarna hijau jade. Penambang-penambang belerang terlihat kecil dari atas. Untuk menuju ke sumber penghasil belerang tersebut, kita perlu menuruni bebatuan tebing kaldera melalui jalan setapak yang dilalui penambang. Masker, slayer, atau sapu tangan basah sangat diperlukan, karena seringkali arah angin bertiup membawa asap menuju ke jalur penurunan.

Wow!

Keunikan yang utama dari wisata Kawah Ijen selain panoramanya yang sangat indah adalah melihat penambangan belerang tradisional yang diangkut dengan cara dipikul tenaga manusia. Penambangan tradisional ini konon hanya terdapat di Indonesia saja (Welirang dan Ijen). Beban yang diangkut masing-masing per orangnya sampai seberat 85 kg. Beban ini luar biasa berat buat kebanyakan orang, manakala belerang diangkut melalui dinding kaldera yang curam sejauh 800 m, kemudian menuruni gunung sejauh 3 km. Upah yang diterima pemikul adalah Rp 600 untuk setiap 1 kg. Seorang pemikul biasanya hanya mampu membawa turun satu kali setiap harinya, karena beratnya pekerjaan.

Pemikul belerang sedang melalui dinding kaldera

Kami memutuskan untuk turun ke kawah, tapi tidak semua anggota ikut. Di dasar kawah, sejajar dengan permukaan danau terdapat tempat pengambilan belerang. Asap putih pekat keluar menyembur dari dalam pipa besi yang dihubungkan ke sumber belerang. Lelehan 600oC fumarol berwarna merah membara meleleh keluar dan membeku karena udara dingin, membentuk padatan belerang berwarna kuning terang. Terkadang bara fumarol menyala tak terkendali, yang biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Batu-batuan belerang ini dipotong dengan linggis dan diangkut kedalam keranjang. Bernapas dalam lingkungan seperti ini dibutuhkan perjuangan tersendiri. Jika tidak terbiasa, seperti kami contohnya, akan mengalami sesak nafas dan sedikit pusing karena terlalu banyak menghirup asap belerang. Mata pun mengeluarkan air seperti sedang mengupas bawang merah. Baunya hampir mirip dengan gas Lumpur Lapindo, mungkin dikarenakan sama-sama mengandung unsur 'S' (sulphur). Para penambang umumnya bekerja sambil menggigit kain sarung atau potongan kain seadanya sebagai penapis udara, tapi sekarang sudah ada yang menggunakan masker.

Harus ekstra hati-hati

Pemandangan kawah dari bawah

Berikut foto-foto yang diunggah dari http://www.boston.com:
Photo oleh: Ulet Ifansasti (Getty Images)

Kawah Ijen di malam hari

Penambang belerang

Fumarol berwarna merah membara meleleh keluar

Otot-otot pemikul belerang

Belerang yang sudah membeku dan siap diangkut

Dari bawah kami bisa melihat kawah dengan jelas. Kawah ini memiliki kedalaman 200 meter, dan derajat keasaman nol. Keasamannya cukup kuat untuk melarutkan pakaian dan jari jemari, katanya. Tapi saya sempat mencuci tangan dengan air kawah, dan ternyata tidak terjadi apa-apa, cuma terasa sedikit perih setelahnya. Di sana kami juga bertemu dengan dua orang wisatawan dari Bandung, dan sempat sedikit mengobrol. Menurut mereka pemandangan di kawah Ijen lebih bagus daripada kawah Putih di Bandung. Pemandangannya masih alami, kata mereka. Sayang sekali saya tidak sempat melihat sunrise di sini, tapi lain kali saya akan kembali. Kamu juga harus coba berkunjung ke sini, jika butuh guide, saya siap mengantarkan.


NB:
Thanks to Allah SWT atas keindahan yang telah diciptakan dan kesempatan bagi kami untuk menikmatinya. Terima kasih juga buat 12 tim lainnya: Kiki, Githa, Decy, Putri, Andre, Dipta, Martha, Irsyad, Rian, Ari, Nurul, Fajar.

Terimakasih buat mas Ulet Ifansasti atas foto-foto penambang belerangnya yang luar biasa. Saya ambil dari koleksi Big Picture:
http://www.boston.com/bigpicture/2009/06/sulfur mining in kawahijen.html

Sebuah fakta menarik kalo Kawah Ijen adalah salah satu danau asam terbesar di dunia!
http://news.softpedia.com/news/The-Largest-Acid-Lake-on-Earth-81388.shtml

Kamis, 07 Mei 2009

Aura Kasih


Foto dan video oleh Nurul 'lek'

______________________

“Pameran Komputer dan Teknologi Paling Spektakuler, Rabu 29 April - Minggu 3 Mei 2009, bertempat di Galaxy Mall, Exhibition Center LT.6 Surabaya. Ribuan orang telah jadi saksi pameran spektakuler ini.”

Sebuah iklan yang sangat menarik, tetapi bukan itu yang membuat saya tertarik dan memutuskan untuk datang mengunjungi pameran itu. Alasannya tiada lain adalah bintang tamu yang dihadirkan, Aura Kasih feat Magneto Band, Sabtu 2 Mei 2009, jam 19.00 - 21.00. Penasaran seperti apa seh orangnya kalo lihat langsung, banyak yang bilang kalo layar televisi itu suka menipu. Sabtu, malam minggu, sehabis menonton ‘Termehek-mehek’ saya bersama Nurul langsung menuju Galaxy Mall. Tidak perlu khawatir terlambat karena jarak Sacharosa ke Galaxy Mall kurang lebih hanya 1 km saja. Tetapi mengapa saat itu jalan menuju Galaxy Mall sangat ramai, untuk masuk ke parkir motor saja harus antri sangat panjang dan lama. Sungguh diluar kebiasaan.


Sudah lama saya tidak merasakan keadaan seperti ini. Nonton konser musik artis-artis terkenal. Padahal dulu waktu masih di Jember saya hobi sekali, saya tidak pernah melewatkan konser penyanyi dan band-band besar, seperti Dewa, Peterpan, Ungu, Slank, Ari Lasso, Iwan Fals, dan banyak lainnya. Sensasi yang luar biasa, berdesak-desakan dengan ribuan orang, disiram air dari pemadam kebakaran, bernyanyi sambil berteriak-teriak, bahkan tidak jarang melihat baku hantam antar penonton di tengah-tengah kerumunan. Jadi ingat pensi waktu SMA dulu, yang mendatangkan bintang tamu Utopia dan Funky Kopral. Momen yang tidak bisa dilupakan, menyaksikan langsung suara indah ‘Pia’ vokalis Utopia dan aksi memukau ‘Bondan Prakoso’ yang dulu masih menjadi basist Funky Kopral.

Atmosfer itu akhirnya saya rasakan lagi, yaitu menyaksikan live performance Aura Kasih. Memang beda rasanya kalau nonton langsung. Walaupun hanya ada panggung kecil dan penonton yang tidak begitu banyak, jika dibandingkan dengan konser yang pernah saya tonton dulu. Bahkan panggung ini rasanya lebih kecil daripada panggung konser dangdut yang biasa diadakan di lapangan dekat rumah saya. Sangat tidak cocok untuk artis sekelas Aura Kasih. Tapi bukan Aura Kasih namanya jika tidak bisa menghidupkan suasana dan membuat penonton berdecak kagum.

Acara yang bertema ‘Byon Party’ itu dibuka oleh Aura dengan menyanyikan lagu berjudul ‘Asmara’. Dilanjutkan menyanyikan lima buah lagu lainnya, sambil diselingi acara promosi produk Byon dan tanya jawab dengan penonton. Mengenakan busana bewarna-warni semakin membuat suasana malam itu meriah, penonton pun dibuat terpesona. Kalo menyangkut fashion saya tidak bisa menjelaskan lebih detail, bisa dilihat dari foto-foto di bawah.


Soal suara, tidak perlu diragukan lagi. Walaupun banyak orang meragukan kemampuannya bernyanyi, tapi saya sudah membuktikannya sendiri, sungguh penyanyi muda yang sangat berbakat. Malam itu Aura juga menyanyikan lagu ‘Sempurna’ milik grup band Andra and The Backbone. Salah satu lagu favorit saya, lagu yang selalu terdengar indah meskipun dinyanyikan oleh siapa saja, kecuali SBY (sorry). Pastinya tidak lupa saya abadikan lewat video.


Untuk mengenal Aura Kasih lebih dekat lagi, berikut saya sertakan profilnya:

Pemilik nama lengkap Sanny Aura Syahrani ini memulai debut karirnya melalui finalis Miss Indonesia 2007 mewakili Provinsi Lampung. Syahrini panggilan akrabnya, mengeluarkan album perdananya yang bertema sedikit nakal yaitu “malaikat penggoda” dengan single hitsnya yaitu "mari bercinta". Lagu ini dikenal dengan single dance hall. Aura kasih juga mempunyai suatu obsesi yaitu jika ada kesempatan ingin maen bareng sama Duran-Duran dan pingin banget bisa kolaborasi dengan Ring Of Fire (Johnny Cash).

Selain Mari Bercinta, lagu lain yang ada dalam albumnya adalah Harta Cinta, Tergila Padamu, Memori, Long Distance, Demi Cinta, Mata Keranjang, Diantara Kita, Ke Puncak Asmara, dan Cinta Mati.

BIODATA
Nama Lengkap : Sanny Aura Syahrani
TTL : Bandung, 23 Februari 1988
Nama Ayah : Jajad Sugiyatna
Nama Ibu : Laela
Pendidikan Terakhir : SMA Angkasa Tasikmalaya angkatan 2004. (cuti kuliah dari Program D3 Akademi Sekretari dan Manajemen Ariyanti, Bandung)
Tinggi Badan : 171 cm
Berat Badan : 50 Kg
Hobi : Makan, Tidur, Nyanyi, Renang, Badminton, design baju
Musik Favorit : Music reggae (Baby Charm, Bounty Killer, Lady Saw), 311,
Social Distortion, Sublime, The Clash, Madonna, Ras Muhammad, Johnny Cash dan Frank Sinatra.

KARIR
Miss indonesia 2007
Penyanyi

ALBUM
Malaikat Penggoda (2008)