Rabu, 12 Januari 2011

Tanjung Bira


Sudah lama rasanya tidak update tentang jalan-jalan di blog ini. Hampir saja saya lupa bagaiama caranya menulis. Sebenarnya banyak sekali yang bisa saya ceritakan mengingat empat bulan terakhir saya dipindah tugaskan ke tempat baru, tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, tempat itu bernama Celebes atau Sulawesi.

Sekarang saya bekerja di Makassar, tepatnya pada Proyek Pembangunan Gedung Rumah Sakit Pendidikan (Teaching Hospital) Universitas Hasanuddin. Di tengah-tengah kesibukan proyek yang tidak mengenal tanggal merah ternyata saya masih bisa menyempatkan diri berwisata menjelajahi pulau ini. Penjelajahan dimulai dari Sulawesi Selatan, mudah-mudahan di waktu depan saya bisa berkunjung ke wilayah Sulawesi lainnya. Amin.

Ini proyek yang sedang tim saya kerjakan, semoga dapat selesai tepat waktu

Awalnya saya buta sama sekali tentang Sulawesi, saya hanya tau tempat-tempat bagus di pulau ini sebatas di Bunakaen atau Wakatobi, selebihnya tidak ada. Setelah mendapat informasi dari rekan kerja saya yang merupakan orang asli Sulawesi, akhirnya saya mendapatkan banyak informasi tentang tempat-tempat menarik yang harus dikunjungi. Ternyata banyak sekali obyek-obyek wisata bertaraf internasional di pulau ini. Untuk kesempatan kali ini saya ingin bercerita tentang Tanjung Bira. Check this out!

Jumat, 31 Desember 2010, saya bersama kontributor saya tercinta berencana melewati malam pergantian tahun di Pantai Bira. Sekitar pukul 10.00 WITA kami berangkat dari Kota Makassar. Bagi para backpackers yang ingin mengunjugi kota Makassar saya kasih info penginapan murah dengan kualitas jempolan, namanya Wisma Jampea, www.wismajampea.com. Letaknya sangat strategis, dekat dengan Karebosi dan Pantai Losari. Jika dari Bandara Sultan Hasanuddin kita naik saja bus Damri dengan tarif Rp 15.000,- menuju ke pusat kota, kemudian turun di China Town. Di sanalah letak wisma ini.

Rute awal menuju Tanjung Bira adalah dengan naik 'pete-pete' menuju Terminal Malengkeri. Pete-pete adalah sebutan untuk angkot di sini. Orang Makassar sangat medok, lebih parah daripada orang Jawa. Jadi jika ingin tanya jurusan angkot, jangan lupa ngomong 'pete-pete', jika tidak dijamin mereka tidak akan paham. ongkos pete-pete jauh dekat adalah Rp 3000,-


Pete-pete yang biasa saya tumpangi ke proyek (kalo ditinggal jemputan karena bangun kesiangan,, hehe..)

Tanjung Bira terletak di daerah paling selatannya Sulawesi Selatan, yaitu di Kabupaten Bulukumba, 200 km dari Kota Makassar. Dari Terminal Malengkeri kami naik 'panther' menuju Bulukumba. Tarifnya Rp 35.000,-. Jika beruntung anda bisa mendapatkan angkutan yang bersedia mengantarkan langsung sampai Tanjung Bira, tentunya dengan tambahan ongkos. Menuju Tanjung Bira kita akan melewati Kabupaten Gowa - Takalar - Jeneponto - Bantaeng - Bulukumba. Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Keadaan jalanan cukup bagus, hanya sedikit rusak ketika akan memasuki Kabupaten Bulukumba. Kendaraan bisa melaju kencang tanpa hambatan berarti, biasanya angkutan umum akan berhenti di Jeneponto untuk beristirahat makan. Pemandangan sepanjang perjalanan sungguh indah karena jalur ini berada di tepi garis pantai Selat Makassar.

Pukul 16.oo WITA kami tiba di Terminal Bulukumba. Kami melanjutkan perjalanan naik pete-pete berwarna merah jurusan Tanah Beru - Tanjung Bira. Ongkos menuju Tanjung Bira dari Terminal Bulukumba sebesar Rp 10.000,-. Ada hal menarik saat perjalanan menggunakan pete-pete ini. Ternyata rasa kekeluargaan masyarakat di sini sangat kuat. Bayangkan saja pete-pete ini menjemput penumpang sampai ke depan rumah mereka, mau masuk ke dalam gang-gang pemukiman warga, bahkan mau menunggu berjam-jam karena penumpang tersebut belum siap. Bukan hanya itu, jangan kaget jika angkutan ini sering berhenti di tengah-tengah perjalanan mengikuti request dari penumpang. Ada yang minta singgah untuk mengantarkan titipan buat keluarganya, ada juga yang ingin mampir untuk membeli ikan atau sayuran yang dijual di pinggir jalan. Kami sukses dibuat geregetan olehnya, rencana kami untuk menikmati sunset terakhir tahun 2010 di tepi Pantai Bira terancam gagal.

Sebenarnya waktu tempuh normal dari Bulukumba menuju Tanjung Bira kurang lebih 1 jam. Karena hal-hal tak terduga seperti tersebut di atas kami memakan waktu lebih lama 1 jam dari waktu normal. Kami tiba di Pantai Bira pukul 18.00 WITA. Alhamdulillah masih belum terlambat untuk melihat sunset. Keadaan pantai ramai sekali waktu itu. Ternyata banyak orang yang ingin melewati malam tahun baru di sini. Setelah puas menikmati pemandangan matahari terbenam (walaupun tidak terlihat jelas karena cuaca mendung), kami pun berkeliling mencari penginapan. Tidak perlu khawatir, tersedia banyak penginapan di sini. Mulai dari tarif rupiah sampai dengan tarif euro. Untuk tarif rupiah harga menginap satu malam berkisar mulai dari 150 rb sampai dengan 600 rb. Nama penginapan-penginapan di sana antara lain Bira Beach Inn, Sapolohe, Anda Hotel, Bira View, dsb.

Sunset terakhir 2010 di Pantai Bira

Menanti malam pergantian tahun, saya bersama kontributor saya duduk-duduk santai di tepi Pantai Bira. Suasana sangat ramai, penuh sesak oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tapi suasana ramai tersebut tidak mengurangi suasana keromantisan pantai ini, wue ee ee. Menjelang detik-detik pergantian tahun ratusan kembang api dinyalakan, suasana menjadi meriah, langit menjadi berwarna-warni, dan udara pun dibuat hangat olehnya. Orang-orang terlihat sangat antusias di malam ini, begitu juga dengan kami berdua, tentu mereka pun punya doa, harapan, dan cita-cita di tahun mendatang. Semoga semua harapan itu bisa terwujud dan keadaan negri ini menjadi lebih baik.. Amin..

Pesta kembang api ala Makassar

Keesokan paginya, setelah menyantap sarapan, kami berdua berjalan-jalan menyusuri pantai. Cuaca pagi itu sangat cerah, sinar matahari yang bersinar terang semakin menelanjangi keindahan pantai ini. Pantai Bira kembali menelan korban. Kami berdua adalah korban selanjutnya. Tidak berlebihan memang kalo saya menjuluki pantai ini dengan sebutan Wheat Flour Beach, karena memang pasir putihnya yang terasa sangat lembut seperti tepung terigu. Tidak rela rasanya berjalan menggunakan alas kaki, karena khawatir akan merusak kehalusan pasir di pantai ini :D. Airnya pun sangat jernih, bewarna biru muda, perpaduan antara air asin dan air tawar. Saking jernihnya saya berpikiran jika Sang Pencipta menguras pantai ini setiap hari.. hehe.. Ombak di pantai ini juga sangat tenang, mungkin karena letaknya yang terlindung oleh Pulau Selayar. Sangat mengasyikkan sekali bermain air di sini. Jika ingin bersantai di atas air anda bisa menyewa ban atau jika anda ingin berteriak lepas terdapat juga permainan banana boat. Hanya satu saran dari saya: Anda harus datang ke sini!! b^^d

Suasana pantai sangat ramai


Pasir putihnya sangat halus sepeti tepung terigu

Dari tepi Pantai Bira, dalam jarak yang cukup dekat Anda akan melihat sebuah pulau di seberang sana. Nama pulau itu adalah Pulau Liukang Loe. Kami pun tertarik untuk mengunjungi pulau itu. Setelah berkeliling mencari informasi akhirnya kami menemukan cara bagaimana menuju ke sana. Ternyata di pinggir-pinggir pantai terdapat beberapa perahu yang disewakan untuk menuju ke pulau itu. Tarif sewa perahu sebesar Rp 200.000,- muat untuk 15 orang penumpang. Kami pun berangkat menuju ke Pulau Liukang Loe diantar oleh seorang awak kapal bernama Bapak Oemar, Nama lengkapnya Oemar 'Bira', hehe.. kami tertawa saat mendengar bapak itu memperkenalkan namanya. Sebuah nama yang labil menurut saya, mungkin jika dia tinggal di Hawaii namanya akan berubah menjadi Oemar Hawaii.. :)).

Pulau Liukang Loe dilihat dari Pantai Bira

Perjalanan menuju Pulau Liukang Loe memakan waktu kurang lebih 15 menit. Sepanjang perjalanan Bapak Oemar tidak pernah berhenti bercerita. Dia banyak bercerita tentang keindahan pantai ini, tentang para langganannya yang merupakan orang-orang besar, tentang masa mudanya dulu, dan tentang sejarah bagaimana dia bisa sampai di pulau ini. Jika dari logatnya berbicara anda akan mengira jika bapak ini orang asli Sulawesi, karena walaupun berbahasa Indonesia tapi logat Bugisnya masih kental terdengar. Dugaan kami ternyata salah, Pak Oemar ternyata asli Glenmore. Mungkin sebagian dari anda tidak tahu dimanakah daerah tersebut, tapi saya tidak, saya tahu betul daerah tersebut karena saya sering lewat sana :). Letaknya ada di Propinsi Jawa Timur, tepatnya antara Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi. Pak Oemar sudah tujuh tahun merantau ke Sulawesi, dulunya dia bekerja sebagai awak sebuah kapal barang. Singapura dan Malaysia sudah sering ia kunjungi, gajinya pun tergolong cukup tinggi, tetapi itu semua tidak menjamin ia betah bekerja di sana. Ternyata hatinya tertambat di sini, bersama teman-temanya ia memutuskan untuk tinggal dan mengadu nasib di pulau ini. "Dulu pulau ini sepi, tidak ada orang yang berkunjung ke sini, saya dan teman-teman yang memperkenalkan keindahan pulau ini kepada para wisatawan", ujarnya.

Tiba di Pulau Liukang Loe, tiba-tiba Pak Oemar menghentikan perahunya sekitar 1 km dari bibir pantai. Kami bertanya-tanya mengapa jauh sekali dia menambatkan perahunya. Kemudian dia menyodorkan alat snorkling kepada kami lengkap dengan pelampungnya. Sebelumnya kami memang sudah melihat jika ia membawa banyak sekali pelampung dan alat snorkling di ujung perahunya. Tetapi kami memang tidak ada niatan sama sekali untuk snorkling di pulau ini, karena mengira pasti hanya ada hamparan pasir putih di bawah sana. Dia terus membujuk, dia bilang jika pemandangan di bawah sana sangat cantik, kami tidak akan pernah menyesal menerima tawarannya. Akhirnya kami pun terbujuk rayuan manisnya. Dengan harga sewa Rp 50.000,- akhirnya mas kawin berupa seperangkat alat snorkling pun kami terima.. hehe..

Jujur saya malu mengatakan hal ini. Saya mengaku sebagai seorang backpacker, banyak pantai sudah saya kunjungi, tetapi saya belum pernah sekali pun snorkling,, hehe.. Ini adalah pengalaman pertama saya. Partner saya pun juga begitu rupanya, bahkan berenang saja ternyata dia tidak bisa,, ckckck.. Untung saja bapak Oemar dengan sabar mau mengajari kami berdua. Dia mengajari kami bagaimana cara memakai pelampung, cara memakai kacamata selam, cara mengambil napas yang benar dan sebagainya. Saat-saat pertama mencelupkan kepala ke dalam air adalah saat-saat yang paling sulit. Kami berdua sering sekali tersedak air laut. Saya pun melihat ke arah partner saya yang dari tadi batuk-batuk karena menelan air laut, matanya merah dan ada cairan kental keluar dari hidungnya,, hahaha,, menjijikkan.. >,<>

Saya dan dia

Tubuh kami terapung-apung bebas di atas lautan, pandangan kami sudah tidak lagi tertuju ke daratan, tapi ke dasar permukaan laut menikmati indahnya alam laut. Kami hanya membiarkan tubuh kami terombang-ambing terbawa arus laut yang tenang, entah kemana tubuh ini akan dibawanya. Ternyata laut di sini terlampau tenang, dari tadi kami hanya terombang ambing di dekat perahu, padahal kami kira kami sudah berada berkilo-kilo jauhnya dari perahu. Dasar pemula, melihat kami Pak Oemar langsung turun tangan, takut janji-janjinya tentang keindahan terumbu karang di sini kami anggap omong kosong akhirnya ia membimbing kami menuju spot-spot cantik di laut ini. Dengan otot-ototnya dia mendorong kaki kami sehingga tubuh kami bergerak maju membelah lautan. Nampaknya dia sudah hafal betul setiap jengkal lautan pulau ini. Terima kasih bapak.

Sekarang saya sedikit mengerti tentang laut, jika anda lihat air laut itu dari kejauhan berwarna biru muda, itu tandanya pasti ada terumbu karang di bawahnya. Sama halnya dengan lautan di Pulau Liukang Loe ini, airnya sangat jernih, terlihat berwarna biru muda dari kejauhan, dan ternyata terumbu karang tumbuh subur di bawahnya. Subhanalloh, cantik sekali pemandangan bawah laut di sini. Pemandangan seperti ini belum pernah saya lihat sebelumnya kecuali di televisi dan alam mimpi. Ingin sekali mengabadikannya dengan kamera saya, tapi apa daya jangankan menyelam ke dalam air, terkena percikan air saat perjalanan tadi saja kamera saya sudah ngambek tidak mau menyala :(

Pak Oemar tanpa lelah terus mendorong tubuh kami menyusuri lautan. Kurang lebih satu kilometer jauhnya kami menjelajahi lautan Pulau Liukang Loe. Sesekali dia berhenti, kemudian menjelaskan tentang biota laut yang ada di sana. Dia hafal jenis-jenis ikan yang hidup di laut ini. Saat saya meminta untuk membawa pulang bintang laut berwarna biru, dia tidak mengijinkannya. Pak Oemar sangat peduli terhadap kelestarian taman laut di sini.

Kira-kira seperti inilah bintang laut berwarna biru yang ingin saya bawa pulang -_-'

Setelah lelah ber-snorkling kami pun istirahat di pantai Pulau Liukang Loe. Pemandangan pantai ini sungguh indah. Airnya sangat jernih, walaupun pasir di pantai ini tidak selembut di Pantai Bira. Sayang sekali kamera saya masih tidak mau menyala, jadi saya tidak sempat mengabadikan pemandangan di pulau ini. Jika anda berencana berwisata ke pulau ini, saran saya sempatkan juga mampir ke Pulau Kambing, letaknya tidak jauh dari Pulau Liukang Loe. Menurut Pak Oemar pemandangan laut di sana tidak kalah bagusnya dengan Pulau Liukang Loe. Di sana terdapat palung laut yang curam, dan sering juga dijumpai ikan hiu. Tetapi mereka sangat ramah, tidak mengganggu manusia yang sedang diving. Karena waktu kami terbatas, kami tidak bisa meneruskan petualangan ke sana. Tapi tenang, kami sudah memasukkannya dalam daftar tempat wajib dikunjungi. Di waktu depan pasti kami akan kembali b^^d