Sabtu, 21 November 2009

Madakaripura


Madakaripura tersusun atas tiga kata yaitu: Mada Kari Pura, yang artinya “Tempat Tinggal Terakhir”. Sebuah tempat yang dipilih oleh Maha Patih Gajah Mada sebagai tempat bertapa untuk memperoleh kesentosaan hingga ia menjadi sakti mandraguna. Gajah Mada adalah seorang Patih dari Kerajaan Majapahit yang namanya sangat besar karena telah berjuang dengan gigih mempersatukan wilayah Nusantara (bukan hanya dari Sabang sampai Merauke tapi dari Wanin hingga Madagaskar). Di tempat ini pula ia menghabiskan sisa hidupnya, mempersiapkan diri untuk menuju nirwana.

Semua orang pasti suka jalan-jalan. Jadi tidak susah bagi kami mengumpulkan personel untuk liburan kali ini. Yang menjadi masalah adalah menentukan tempat yang akan dituju. Karena setiap orang punya selera masing-masing dan untuk menyatukan itu semua bukan hal yang mudah. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata Madakaripura. Tempat ini dipilih karena menurut kami selain punya pemandangan alam yang bagus juga punya nilai historis yang tinggi.

Pada hari Sabtu, tanggal 14 Nopember 2009, pukul 01.30 WIB tim berangkat dari Surabaya, tepatnya dari Sacharosa 63. Tim yang diberi nama Tim 8 atau TPF (Tim Pencari Foto) berangkat dengan mengendarai Kijang Innova, yang merupakan mobil sewaan. Tim tidak langsung menuju Madakaripura, tetapi menuju Penanjakan terlebih dahulu untuk menikmati sunrise. Dikemudikan oleh brother Harys dan dinavigatori oleh brother Fajar (brother adalah sebutan wajib bagi sesama anggota Sacharosa), mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Harap maklum jika kami tergesa-gesa karena jam keberangkatan telah molor sekitar 1,5 jam dari yang direncanakan.

Jadi hak milik selama 24 jam

Menuju Penanjakan dari Surabaya, jalan yang terdekat adalah lewat Pasuruan, kemudian masuk ke Desa Puspo. Medannya cukup berat, jalan sempit, menanjak dan berkelok-kelok, tapi untungnya kondisi aspal masih bagus. Sekitar pukul 03.30 WIB tim sampai di gerbang masuk Penanjakan. Lapor ke pos terlebih dahulu serta membayar tarif masuk Rp. 2500,- per orang dan parkir Rp. 6000,-. Sebagai informasi, jika menuju Bromo melewati jalur ini mobil pribadi diperbolehkan masuk. Berbeda dengan jalur Probolinggo, kita diharuskan untuk menitipkan kendaraan pribadi dan melanjutkan perjalanan menggunakan jeep/hardtop dengan biaya sewa sekitar Rp. 300.000,- . Hmm.. sama dengan ongkos sewa mobil kami satu hari :-O

Tim 8 (dari kiri: me, nurul, arbay, fajar, anin, hanif, harys, ocik)

Dari gerbang masuk menuju Penanjakan ternyata masih harus menempuh kurang lebih 10 km lagi. Jam-jam segini ternyata banyak sekali jeep yang menuju Penanjakan, untungnya kami berada di depan mereka. Tapi nampaknya mobil kami melaju terlalu lambat. Maklum, namanya saja mobil keluarga dan driver belum mengenal medan dengan baik. Karena jalanan sempit dan tidak mungkin untuk menyalip, jadilah mobil kami bagaikan safety car di balapan F1. Bedanya safety car yang satu ini tidak dihormati sama sekali, karena selalu diklakson oleh jeep-jeep di belakanng. Hufh. Tapi brother Harys bisa beradaptasi cepat dengan jalanan, dan akhirnya kami berhasil meninggalkan jauh jeep-jeep itu di belakang. Salut!!! Diburu waktu memang tidak mengenakkan. Perasaan kami waktu itu mungkin hampir sama dengan perasaan Sangkuriang, yaitu berharap agar matahari tidak terbit terlebih dahulu.

Sudah diserbu turis

Sekitar pukul 04.00 WIB akhirnya tim sampai di puncak Penanjakan, untung saja sang fajar belum datang. Tapi mengapa tempat ini begitu ramai, jangankan untuk mendapatkan sudut bagus mengambil gambar, untuk meletakkan tripod saja seperti tidak ada tempat. Wisatawan asing dan lokal yang jumlahnya hampir sama, tampak antusias sekali menunggu matahari terbit di sini. Jadilah sunrise tersebut hanya kami abadikan dalam hati dan pikiran masing-masing. Tapi brother Hanif, yang juga merupakan fotografer majalah ITS online, berhasil menemukan tempat bagus untuk foto-foto. Walaupun harus menuruni bukit yang agak curam, tapi tempat ini jauh dari jamahan wisatawan lainnya dan pemandangannya benar-benar mantabz. Photo sesssion pun dimulai. Syiip bro!!!

Brother Hanif Santoso

Nemu tempat sepi di bawah tower-tower

Foto-foto dulu

Cara liatnya kepalanya agak dimiringkan sedikit

Setelah puas menikmati pemandangan di Penanjakan, perjalanan menuju Madakaripura dilanjutkan. Jalan yang harus dilalui adalah berupa turunan tebing dari puncak Penanjakan. Jalan begitu curam dan rem pun harus bekerja keras di sini. Sampai-sampai bau hangus rem tercium dari dalam mobil. Tapi pemandangan yang disuguhkan sungguh luar biasa dan benar-benar menakjubkan. Semua terlihat kecil sekali dari atas sini. Sungguh Allah Maha Besar.

Gajah di pelupuk mata tak tampak, apalagi semut di seberang lautan

Selesai melewati turunan tajam, rintangan selanjutnya berupa lautan pasir. Tidak kalah berbahaya dengan medan sebelumnya, untung saja mobil kami tidak sampai terjebak di lautan pasir ini. Pemandangannya pun tidak kalah maknyus di sini. Setelah tadi melihat pemandangan dari ketinggian, sekarang kami disuguhi view dari bawah. Melihat dinding kaldera yang menjulang tinggi mengelilingi Gunung Bromo, sungguh megah rasanya. Obyek wisata Gunung Bromo pun akhirnya kami lewati. Sayang tidak sempat mampir, bukannya sombong, tapi karena tujuan utama tim adalah Madakaripura. Sampai jumpa Bromo lain waktu kami pasti mampir.

Empuk-empuk gimana gitu

Kulonuwon Bromo

Sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya tim sampai juga di Madakaripura. Obyek wisata ini terletak di Desa Sapeh, Kecamatan Lumbang, sekitar 6 km dari lautan pasir Bromo. Di gerbang masuk terdapat patung seorang laki-laki bertubuh gempal dan rambut yang digelung membulat. Ya benar, itu adalah patung Gajah Mada. Memang terasa sekali kalau Gajah Mada merupakan ikon obyek wisata ini. Tarif masuk ke lokasi ini adalah Rp 2.500,- per orang.

Model rambutnya Angga 'Maliq & d'essentials'

Setelah memarkir mobil, kami didatangi oleh penduduk setempat yang menawarkan jasa sebagai guide untuk membantu meniti jalan menuju air terjun. Karena ini pertama kalinya kami ke sini, jadi kami mengiyakan saja penawaran tersebut. Awalnya bapak itu menawarkan harga Rp 50.000,- tetapi setelah tawar-menawar, harga akhirnya adalah Rp 30.000,-. Sebenarnya itu masih tergolong mahal, karena menurut pengalaman teman kami, warga sekitar sudah bersedia dengan dibayar Rp 10.000,- saja. Untuk menuju ke air terjun kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km. Sesungguhnya di obyek wisata ini sudah disediakan jalan setapak atau pedestrian untuk pengunjung. Karena pernah terjadi longsor maka beberapa titik di pedestrian terputus, jadi kami harus bersusah payah menyebrang sungai dan melewati batu-batu. Tetapi sungguh itu semua malah menambah nikmatnya perjalanan ini. Walaupun di sungai juga banyak terdapat lintah, jadi harus tetap waspada!

Jalan setapak

Korban lintah of the day adalah Fajar.. wkwkwk..

Setelah kurang lebih 15 menit berjalan, akhirnya tim sudah mendekati lokasi air terjun. Tidak terasa capek sama sekali, karena pemandangan selama perjalanan telah menghapusnya. Tebing-tebing tinggi di kanan dan kiri bagaikan ingin menjepit kami saja. Terdapat warung kecil, pos penjaga, dan toilet di sana. Guide pun mengingatkan untuk menyimpan barang-barang kami, karena deretan air terjun nanti bisa membuat kami basah kuyup. Di sana pun sudah ada yang berjualan tas kresek dan juga menyewakan payung seharga Rp. 2000,-. Setelah semuanya siap perjalanan pun dilanjutkan.

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh guide kami, untuk menuju air terjun utama kami harus lewat di bawah deretan air terjun kecil. Jumhlanya ada lima buah, disinilah letak keseruannya, seperti main hujan-hujanan, karena limpahan air tidak bisa dihindari sehingga membuat kami menjadi basah kuyup. Tapi ingat harus tetap waspada karena jalan yang dilalui cukup licin, tidak jarang di antara kami yang jatuh terpeleset saat menginjak batu. Pemandangan di titik ini pun sangat cantik, tidak heran jika sebuah produk air mineral memasangnya pada iklan mereka (Aqua, red).

Diunduh dari: www.wikimedia.org

Mendekati air terjun utama, lorong semakin menyempit, jalanan berupa batu-batu terjal dan semakin sulit untuk dilewati. Akhirnya tim sampai pada sebuah jalan buntu berupa cerung sempit dengan diameter sekitar 25 m. Di sana terdapat sebuah air terjun yang sangat besar, dengan ketinggian sekitar 200 m. Air dengan kekuatan besar melimpah dari atas, jatuh ke kolam yang dalamnya sekitar 7 m. Suara gemuruh air pun terdengar keras sekali. Agak mengerikan memang karena kami serasa terkurung di dalam ruangan alam ini, seolah-olah berada di dasar sebuah tabung batuan yang tinggi. Di tengah-tengah air terjun ini terdapat sebuah goa yang menganga, konon di sanalah Gajah Mada menghabiskan sisa usianya untuk bertapa.

Diunduh dari: www.tempatwisataindonesia.com

Keperkasaan yang dahsyat di Madakaripura inilah yang menjadi alasan Gajah Mada memilihnya sebagai tempat untuk menghabiskan sisa usia. Betapapun panjang sebuah perjalanan, pasti akan sampai juga pada titik akhir. Betapapun sempurna keindahan mentari pagi di ufuk timur, betapapun garang ia membakar bumi tepat di siang hari, ketika senja membayang, ia harus tenggelam juga. Lakon Gajah Mada telah pula sampai di ujungnya. Tragedi Bubat telah melukai begitu banyak pihak dan berdampak sangat luas. Gajah Mada ditempatkan sebagai pihak paling bersalah atas tragedi itu. Ia dihujat, dicaci, dan dicela. Namun, sesungguhnya sang legendaris ini juga merasa terluka. Ia terluka karena merasa kerja kerasnya selama dua puluhan tahun lebih pada akhirnya tak ada harganya sama sekali. Segala pengorbanan yang ia berikan untuk dapat menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji Majapahit justru gagal di langkah terakhir. Mungkin air terjun inilah yang menjadi saksi bisu kesedihan hati Sang Maha Patih.

Sungguh tempat yang sangat sakral, tidak heran mendengar cerita guide kami jika Madakaripura juga sering dijadikan tempat semedi orang-orang yang ingin mencari ilmu batin. Tepat di samping air terjun besar itu, juga terdapat sebuah air terjun kecil yang bernama “Tirta Serwana”. Banyak orang yang mempercayai jika air dari “Tirta Serwana” ini berkhasiat memberikan kesembuhan dan membuat awet muda. Saya pun langsung mencoba menikmati guyuran air di sana, seperti pijat refleksi, enak sekali rasanya. Khasiatnya ternyata juga langsung terasa, yaitu gatel-gatel.. hehehe..

Ini bukan Gajah Mada yang lagi mandi :)

Sayang sekali derasnya cipratan air dari air terjun membuat kami mengurungkan niat untuk mengambil foto. Hanya kamera pocket yang digunakan untuk sekedar foto bersama. Jadi saya sertakan saja gambar-gambar yang didapat dari hasil browsing.

Diunduh dari: www.tempatwisataindonesia.com

Kami akan kembali

NB:
Thanks to Allah SWT atas keindahan yang telah diciptakan dan kesempatan bagi kami untuk menikmatinya. Terima kasih juga buat tim 8 atas waktunya, serta tidak lupa buat Brother Harys sebagai driver, benar-benar darah muda.